Sabtu, 21 Januari 2012

Geologi Pulau Jawa


A.   KONSEP DASAR PULAU JAWA

Menurut para ahli bumi, batuan dasar (atau dikenal dengan nama Basement) di Pulau Jawa terbentuk antara tahun 70-35 juta tahun sebelum masehi. Batuan ini tersusun oleh batuan malihan (matamorfik), serta batuan beku. Ahli geologi ini sudah lama meneliti Pulau Jawa dan tidak pernah menemukan batuan yg berumur lebih tua dari 50juta tahun lalu.
Jawa Barat usia batuan dasarnya lebih tua dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, mengapa ? Karena basement (batuan dasar) di Jawa Timur tebentuk pada tahap-tahap akhir setelah ditubruk lempeng Australia dan numpuk-numpuk membentuk basement di Jawa Timur.
Pada 20 juta tahun sebelum masehi, zona tubrukan lempeng Australia dengan lempeng Asia terkunci dan menyebabkan menunjamnya lempeng Australia dibawah lempeng Asia. Penunjaman ini yg berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan munculnya gunung-gunung api disebelah barat Pulau Sumatra dan juga sebelah selatan Pulau Jawa.
Pada waktu itu Jawa Tengah dan Jawa Timur berupa lautan karena kalau dilihat di selatan Pulau Jawa banyak dijumpai gunung gamping. Gamping itu dulunya terumbu karang yang hidup dan adanya di laut. Kalau sekarang contohnya ya Pulau Seribu itu atau kalau yang besar Great Barier di sebelah timut Australia. Dengan logika yang sederhana seperti itulah maka ahli kebumian ini tahu bahwa pegunungan selatan Jawa, termasuk Batugamping di Wonosari itu, dahulunya adalah lautan.
Lima juta tahun yang lalu konfigurasi serta bentuk pulau-pulau di Indonesia sudah mirip dengan yang ada saat ini. Pulau Jawa dan pulau Sumatra sudah “ditumbuhi” gunung-gunung api yg masih aktif hingga saat ini. Termasuk Gunung Merapi yang sangat aktif kemaren itu. Patahan-patahan di sumatra masih saja bergerak, juga saat itu patahan-patahan Jawa mulai terbentuk dan semakin jelas.
Dibawah ini bisa lihat patahan-patahan di Jawa saat ini..!!!

Patahan di Jakarta, juga patahan Opak, Patahan Grindulu, Patahan Cimandiri, dan juga patahan-patahan kecil lainnya. Yang digariskan warna merah adalah patahan hingga ke batuan dasar, sedangkan yang warna hijau adalah patahan yang terlihat dipermukaan saat ini.



B.     GEOLOGI DAN GEOFISIKA BANTEN



Definisi geologi dan geofisika propinsi banten adalah sbb :
  • Di daerah Selat Sunda terdapat ujung dari patahan atau Sesar Sumatra (Semangko) yang merupakan sesar geser aktif sepanjang 1650 km dengan pergerakan lateral antara 20 – 25 km dan percepatan horizontal 6 cm/th.
  • Karakter geologi & geofisika Prop.Banten, sbb :
    • Terdapat beberapa gunung berapi diantaranya G.Anak Krakatau dan G Condong
    • Terdapat mata air panas di sekitar Rawa Danau
    • Terdapat beberapapatahan atau sesar
    • Mempunyai tingkat kegempaan tinggi
  • Jenis batuan yang ada digolongkan dalam batuan undifferentiated volcanis product, pliocene-sedimentary, alluvium, miocene-volcanic facies, pleistocene-sedimentary facies, andesit.

C.   GEOLOGI DAN GEOFISIKA JAWA TIMUR


Penelitian Geofisika dengan metode Gayaberat telah dilakukan di daerah Cekungan Jawa Timur bagian utara yang meliputi wilayah Bojonegoro dan Tuban. Pengukuran data gayaberat sebanyak 270 titik ukur diperoleh pada tahun 2005 dan pada tahun 2006 pengukuran sebanyak 180 titik. Dari data tersebut telah dibuat peta kontur Bouguer anomali. Dari peta anomali Bouguer ini dapat dikelompokkan tiga kelompok anomali, yaitu :
1.      Kelompok anomali rendah 38 mGal dijumpai di bagian utara daerah penelitian di sekitar daerah Tuban.
2.      Kelompok anomali tinggi dijumpai berarah Timur- barat dan membelok ke arah Baratlaut- tenggara (E-W-NW).
3.      Kelompok anomali sisa diperoleh dengan metoda polinomial dari orde 1 hingga orde 4 yang memperlihatkan adanya konsistensi kelurusan struktur dengan arah Barat-Timur yang melewati Tuban dan diduga merupakan sesar normal yang berkembang menjadi Sesar geser mengiri pada daerah inverted zone yang kemungkinan berhubungan dengan RMKS fault Zone.

Berdasarkan peta anomali sisa dan Bouguer anomali rendah pola kontur yang melingkar dijumpai di daerah Soka hingga Babat dan Senon wilayah Bojonegoro ini diduga cerminan dari batuan sedimen yang cukup tebal dan berdensitas rendah. Anomali sedang dijumpai menyebar di daerah penelitian. Dari daerah montong ke arah baratdaya dijumpai anomali sedang yang berbentuk nose structure yang berada diantara anomali rendah. Dalam kontek aliran fluida, pola anomali Bouguer yang berbentuk demikian kemungkinan dapat merupakan tempat akumulasinya fluida secara konvengen.
Berdasarkan data regional (geologi dan gayaberat) daerah kajian berada dalam anomali Bouguer positif dan pola nose structure tersebut berada di atas F. Tawun-F. Ngrayong yang mempunyai sejarah erosi yang panjang, diduga di bawah daerah ini masih dijumpai satuan batuan Formasi Kujung (Prupuh chalk dan Kranji mudstone).
Daerah penelitian meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah bagian timur dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah penelitian lapangan batuan paleogen dan batuandasar Pra-Tersier dilakukan di daerah karangsambung, Nanggulan, dan Bayat (Kabupaten Klaten), sedangkan di Jawa Timur penelitian batuan Paleogen dan batuan dasar Pra-Tersier didasarkan pada data sumur dan data seismik. Daerah Jawa bagian timur dipilih sebagai daerah penelitian karena keunikannnya sebagai tempat terjadinya perubahan zona subduksi Neogen yang berarah timur-barat. Penelitian ini menghasilkan peta geologi dan stratigrafi baru daerah Karangsambung. Stratigrafi baru ini memunculkan tiga satuan batuan baru.


Hasil penemuan penelitian ini, yang diusulkan sebagai :
  • "Formasi Bulukuning" - berumur Eosen Awal,
  • "Komplek Larangan" - berumur Eosen Akhir, dan
  • "Anggota Breksi Mondo Formasi Totogan" - berumur Oligosen.

Ketiga satuan baru ini oleh peneliti terdahulu depetakan sebagai bagian dari Komplek Malange Luk Ulo.
Hadirnya Formasi Bulukuning yang berumur Eosen Awal menunjukkan bahwa pada saat formasi ini diendapkan proses subduksi komplek Malange Luk Ulo sudah tidak aktif dan bagian utaranya berubah menjadi cekungan laut dangkal dimana Formasi Bulukuning diendapkan, sementara di bagian yang lain, di bagian selatan, masih terdapat daerah bekas palung subduksi kapur yang berupa cekungan sempit dan dalam dimana Formasi Karangsambung dan komplek Larangan diendapkan. Kenampakan terdeformasi Komplek Larangan, Formasi Karangsambung, dan Formasi Bulukuning menunjukkan bahwa setelah pengendapan Formasi Karangsambung dan komplek Larangan di daerah Luk Ulo terjadi deformasi kompresional yang cukup signifikan pada Eosen Akhir-Oligosen Awal.
Hasil penelitian menunjukkan himpunan batuan Pra-Tersier Komplek bayat berbeda dengan Komplek Melange Luk Ulo, Karangsambung. Batuan Pra-Tersier Luk Ulo, merupakan Malange tektonik komplek akresi, produk khas subduksi lempeng samudera yang dicirikan oleh percampuran tektonik berbagai ukuran dan jenis blok batuan dalam masadasar lempung dan mengandung komponen oceanic plate stratigraphy (OPS).
Singkapan Komplek Bayat didominasi oleh batuan metamorf derajat rendah-menengah berupa filit dan sekis dengan komposisi kalsit antara 15-60% (calcareous phyllite dan calcareous schist). tidak dijumpainya himpunan batuan OPS dan terdapatnya calcareous phyllite dan calcareous schist menunjukkan batuan asal (protolit). Komplek bayat adalah batuan sedimen yang mengandung karbonat yang berasosiasi dengan batuan sedimen terigen (asal darat) yang berasosiasi dengan lingkungan kontinen.
Provenan batupasir daerah Luk Ulo, Karangsambung umumnya berada di recycled oregen, sub-zona foreland unplift. Sedangkan batupasir Eosen dari ketiga daerah lainnya (Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur) menunjukkan kemiripan provenan, yakni di continental block, sub-zona craton interior. Hasil analisis ini, menunjukkan bahwa batuan dasar daerah karangsambung berbeda dibandingkan batuan dasar ketiga daerah tersebut, hasil ini mendukung pendapat bahwa Jawa bagian Timur batuan dasarnya bersifat kontinental dan disebut mikrokontinen Jawa Timur.
Evolusi tektonik daerah penelitian sejak kapur hingga Oligosen (Paleogen Akhir) dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu :
·         Periode pertama, berlangsung pada Kapur akhir sampai Paleosen ketika subduksi Lempeng Samudera Indo-Australia pada zona subduksi Ciletuh-Karangsambung-Meratus berhenti karena tumbukan Mikrokontinen Pasternoster, belum menumbuk dan di depannya masih terdapat sisa morfologi palung di daerah Karangsambung. Periode ini ditandai dengan terjadinya pengangkatan pada Paleosen yang membentuk ketidakselarasan regional antara batuan Pra-Tersier dengan batuan Tersier.
·         Periode kedua, berlangsung pada Eosen adalah periode regangan ditandai oleh pembentukkan cekungan-cekungan Paleogen. Di daerah penelitian cekungan terbentuk di daerah komplek akresi dan di bekas palung yang menghasilkan endapan olistostrom Formasi Karangsambung dan komplek Larangan. Di daerah tepi selatan Mikrokontinen Jawa Timur berkembang Cekungan Nanggulan dan Bayat.
·         Periode ketiga, terjadi pada Oligosen, ketika di daerah Luk Ulo Formasi Karangsambung dan Komplek Larangan terdeformasi akibat tumbukan Mikrokontinen Jawa Timur. Disamping mengakibatkan gejala tumbukan di daerah Luk Ulo, secara regional subduksi ini menghasilkan busur volkanik Oligosen yang membentuk sebagain besar morfologi Pegunungan Selatan jawa.

D.   GEOLOGI DAN GEOFISIKA JAWA BARAT


Jawa Barat merupakan daerah yang lebih sering dan lebih banyak mengalami gangguan longsor jika dibandingkan dengan daerah Jawa yang lain. Gangguan tersebut menjadi terasa sekali akibatnya karena adanya unsur manusia dengan kegiatannya yang terkena oleh gerakan longsor atau longsoran, seperti jiwa manusia, rumah, jalan raya dan jalan kereta api, sawah dan ladang, peternakan, saluran irigasi dan sebagainya. Macam-macam longsoran telah terjadi tetapi kelompok longsoran yang terbanyak adalah lawina bahan rombakan (debris avalanche), luncuran bahan rombakan (debris slide), dan nendat (slump); kemudian menyusul aliran tanah (earth flow), aliran lumpur (mud flow), pengocoran pasir (sand run), dan gelinciran bongkah (block glide).
Dalam lawina bahan rombakan (debris avalanche), peluncuran bahan rombakan (debris slide), aliran tanah (earth flow), dan aliran lumpur (mud flow) terdapat pengaruh yang besar dari tanah pelapukan dan hasil rombakan.rnDaerah longsoran yang dikelompokkan atas dasar kondisi geologi dan proses yang mempengaruhi dapat digolongkan atas :
a.       Daerah longsoran yang terjadi karena adanya perbedaan permeabilitas dan konsistenst batuan penutup dengan batuan dasarnya; umumnya terdapat pada batas antara batuan tuf gunungapi muda dengan batuan sedimen Tersier.
b.      Daerah longsoran pada endapan sedimen Tersier yang kurang konsisten, dan terlipat kuat; umumnya pada jalur Bogor.
c.       Daerah longsoran pada endapan sedimen marin yang terangkat atau terlipat kuat-kuat; umumnya pada jalur Pegunangan Selatan Jawa Barat.
d.      Lain-lain Pengaruh sesar longsoran yang tampak adalah pada breksi milonit, yang dapat dipersamakan sifatnya dengan bahan rombakan sehingga dapat menyebabkan kelabilan tanah.

Pengaruh gempa tektonik dan volkanik terhadap longsoran kurang menunjukkan adanya hubungan yang nyata meskipun hal tersebut sangat masuk akal.
Longsoran dipengaruhi pula oleh factor :
·         Ketajaman sudut lereng
·         Curah hujan
·         Aliran air
·         Vegetasi
·         Hasil kegiatan manusia seperti penggalian dan sebagainya yang memperbesar sudut setempat.

Interpretasi kestabilan wilayah terhadap longsor dibuat berdasarkan peta sudut lereng, keadaan geologi, dan intensitas terjadinya gerakan. Wilayah kestabilan dibagi dalam :
1)      Daerah stabil,
2)      Daerah mungkin bergerak, dan
3)      Daerah labil.

Peta ini dapat dibuat dalam peta daerah contoh berskala 1:25000, sedangkan pada peta berskala 1:1000000 hanya dapat ditunjukkan pengelompokan daerah longsor menurut ciri-ciri dan macam longsorannya.

Sumber : Google.com
PASANG SURUT AIR LAUT

Dalam artikel ini menjelaskan tentang pasang surut dan pasang naik, dan juga sebab, dan akibatnya. Semoga saja artikel ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.SELAMAT MEMBACA!!!!! Ü
§     Untuk Apa Data Pasang Surut Air Laut?
Pengetahuan tentang pasang surut sangat diperlukan dalam transportasi laut, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai, dan lain-lain.
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang pasang surut terutama bagi yang tertarik mempelajari masalah pantai dan estuari, maka akan dicoba dijelaskan tentang pengertian pasang surut itu sendiri.

§       Pengertian Pasang Surut Air Laut
Pasang surut air laut adalah  suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi, dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.
Faktor non astronomi yang mempengaruhi pasang surut terutama di perairan semi tertutup seperti teluk adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar perairan.
Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah.
Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasang surut (tidal range).
Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Harga periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit.

§     Tipe Pasang Air Laut
Terdapat tiga tipe dasar pasang laut, yaitu:
Þ    Tipe Harian (diurnal tides) adalah suatu perairan yang mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari.
Þ    Tipe Tengah harian (semidiurna tides) adalah suatu perairan yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari.
Þ    Tipe Campuran (mixed tides) adalah suatu perairan yang mengalami peralihan antara tipe harian dan tipe tengah harian, dan tipe pasang surut air laut ini digolongkan menjadi dua bagian, yaitu: tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi tunggal.

§     Penyebab Pasang Air Laut
Dalam sebulan, variasi harian dari rentang pasang laut berubah secara sistematis terhadap siklus bulan. Rentang pasang laut juga bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi lantai samudera.
Pasang laut merupakan hasil dari gaya gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi (bumi). Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, namun gaya gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari kebumi. Gaya gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.                                                                 
                                     Gb: Gaya Gravitasi Bulan dan Matahari
Pasang air laut dibedakan menjadi dua, yaitu pasang purnama dan pasang perbani, yaitu:
              
                                        Gb: Pasang Naik dan Surut Air Laut                                

Þ   Pasang Laut Purnama (spring tide)
Pasang laut purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah. Pasang laut purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama.
Þ   Pasang Laut Perbani (neap tide)
Pasang laut perbani (neap tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang naik yang rendah dan pasang surut yang tinggi. Pasang laut perbani ini terjadi pada saat bulan seperempat dan tigaperempat.
          
§     Pasang laut dan transportasi perairan
Pengetahuan tentang pasang laut sangat diperlukan dalam transportasi perairan, kegiatan di pelabuhan, pembangunan di daerah pesisir pantai, dan lain-lain. Karena sifat pasang laut yang periodik, maka ia dapat diramalkan.
Untuk dapat meramalkan pasang laut, diperlukan data amplitudo dan beda fasa dari masing-masing komponen pembangkit pasang laut. Seperti telah disebutkan, komponen-komponen utama pasang surut terdiri dari komponen tengah harian dan harian. Namun demikian, karena interaksinya dengan bentuk (morfologi) pantai, superposisi antar komponen pasang laut utama, dan faktor-faktor lainnya akan mengakibatkan terbentuknya komponen-komponen pasang laut yang baru.

§     Manfaat Pasang Surut Air Laut
Peristiwa pasang surut air laut bermanfaat untuk hal – hal sebagai berikut:
Þ    Pembuatan garam,
Þ    Persawahan Pasang Surut,
Þ    Berlayar atau berlabuhnya kapal di dermaga yang dangkal,
Þ    Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut (PLTPs)
Penggerak Generator Listrik, dsb

Pemanasan global

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anomali suhu permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada suhu rata-rata dari 1940 sampai 1980.
Pemanasan global(Inggris: global warming adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Daftar isi

 [sembunyikan

Penyebab pemanasan global

Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

[sunting] Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]

Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.

Model iklim

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca pada masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

Dampak pemanasan global

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

Iklim mulai tidak stabil

Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Gangguan ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

[sunting] Dampak sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

Perdebatan tentang pemanasan global

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan pada masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuwan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisis baru tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global pada masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim pada masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

Persetujuan internasional

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Pada tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

[sunting] Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d "Summary for Policymakers" (PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. 5 Februari 2007. Diakses pada 2 Februari 2007.
  2. ^ NASA: Global Warming to Cause More Severe Tornadoes, Storms, Fox News, August 31, 2007.
  3. ^ a b Soden, Brian J. (01-11-2005). "An Assessment of Climate Feedbacks in Coupled Ocean-Atmosphere Models" (PDF). Journal of Climate 19 (14): 3354-3360. Diakses pada 21 April 2007. "Interestingly, the true feedback is consistently weaker than the constant relative humidity value, implying a small but robust reduction in relative humidity in all models on average" "clouds appear to provide a positive feedback in all models".
  4. ^ Stocker, Thomas F. (20-01-2001). "7.5.2 Sea Ice". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 11 Februari 2007.
  5. ^ Buesseler, K.O., C.H. Lamborg, P.W. Boyd, P.J. Lam, T.W. Trull, R.R. Bidigare, J.K.B. Bishop, K.L. Casciotti, F. Dehairs, M. Elskens, M. Honda, D.M. Karl, D.A. Siegel, M.W. Silver, D.K. Steinberg, J. Valdes, B. Van Mooy, S. Wilson. (2007) "Revisiting carbon flux through the ocean's twilight zone." Science 316: 567-570.
  6. ^ Marsh, Nigel (November 2000). "Cosmic Rays, Clouds, and Climate" (PDF). Space Science Reviews 94 (1-2): 215-230. doi:10.1023/A:1026723423896. Diakses pada 17 April 2007.
  7. ^ "Climate Change 2001:Working Group I: The Scientific Basis (Fig. 2.12)". 19 Januari 2001. Diakses pada 8 Mei 2007.
  8. ^ Hegerl, Gabriele C. (07-05-2007). "Understanding and Attributing Climate Change" (PDF). Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. pp. 690. Diakses pada 20 Mei 2007. "Recent estimates (Figure 9.9) indicate a relatively small combined effect of natural forcings on the global mean temperature evolution of the seconds half of the 20th century, with a small net cooling from the combined effects of solar and volcanic forcings"
  9. ^ Ammann, Caspar (06-04-2007). "Solar influence on climate during the past millennium: Results from ransient simulations with the NCAR Climate Simulation Model". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 104 (10): 3713-3718. "However, because of a lack of interactive ozone, the model cannot fully simulate features discussed in (44)." "While the NH temperatures of the high-scaled experiment are often colder than the lower bound from proxy data, the modeled decadal-scale NH surface temperature for the medium-scaled case falls within the uncertainty range of the available temperature reconstructions. The medium-scaled simulation also broadly reproduces the main features seen in the proxy records." "Without anthropogenic forcing, the 20th century warming is small. The simulations with only natural forcing components included yield an early 20th century peak warming of ≈0.2 °C (≈1950 AD), which is reduced to about half by the end of the century because of increased volcanism.".
  10. ^ Scafetta, Nicola (09-03-2006). "Phenomenological solar contribution to the 1900-2000 global surface warming" (PDF). Geophysical Research Letters 33 (5). doi:10.1029/2005GL025539. L05708. Diakses pada 8 Mei 2007.
  11. ^ Stott, Peter A. (03-12-2003). "Do Models Underestimate the Solar Contribution to Recent Climate Change?". Journal of Climate 16 (24): 4079-4093. doi:10.1175/1520-0442(2003)016%3C4079:DMUTSC%3E2.0.CO;2. Diakses pada 16 April 2007.
  12. ^ Foukal, Peter (14-09-2006). "Variations in solar luminosity and their effect on the Earth's climate.". Nature. Diakses pada 16 April 2007.
  13. ^ "Changes in Solar Brightness Too Weak to Explain Global Warming". National Center for Atmospheric Research. 14 September 2006. Diakses pada 13 Juli 2007.
  14. ^ Lockwood, Mike. "Recent oppositely directed trends in solar climate forcings and the global mean surface air temperature". Proceedings of the Royal Society A. doi:10.1098/rspa.2007.1880. Diakses pada 21 Juli 2007. "Our results show that the observed rapid rise in global mean temperatures seen after 1985 cannot be ascribed to solar variability, whichever of the mechanisms is invoked and no matter how much the solar variation is amplified.".
  15. ^ http://www.ipcc.ch/ipccreports/ar4-syr.htm
  16. ^ Hansen, James (2000). "Climatic Change: Understanding Global Warming". One World: The Health & Survival of the Human Species in the 21st Century. Health Press. Diakses pada 18 Agustus 2007.
  17. ^ "Summary for Policymakers". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Kesalahan: waktu tidak valid. Diakses pada 28 April 2007.
  18. ^ Torn, Margaret (26-05-2006). "Missing feedbacks, asymmetric uncertainties, and the underestimation of future warming". Geophysical Research Letters 33 (10). L10703. Diakses pada 4 Maret 2007.
  19. ^ Harte, John (30-10-2006). "Shifts in plant dominance control carbon-cycle responses to experimental warming and widespread drought". Environmental Research Letters 1 (1). 014001. Diakses pada 2 Mei 2007.
  20. ^ Scheffer, Marten (26-05-2006]]). "Positive feedback between global warming and atmospheric CO2 concentration inferred from past climate change.". Geophysical Research Letters 33. doi:10.1029/2005gl025044. Diakses pada 4 Mei 2007.
  21. ^ Stocker, Thomas F. (20-01-2001). "7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Diakses pada 4 Maret 2007.
  22. ^ a b Hart, John. "Global Warming." Microsoft® Encarta® 2006 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2005.

Pranala luar